Oleh : Siddik
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Syariat Islam adalah hukum dan aturan
Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Selain berisi hukum
dan aturan, Syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan
ini. Maka oleh sebagian penganut Islam, Syariat Islam merupakan panduan
menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia
ini (Wikepedia).
Terkait dengan susunan tertib Syariat,
Al'quran surat Al Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan RasulNya
sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil
ketentuan lain. Oleh sebab itu secara implisit dapat dipahami bahwa jika
terdapat suatu perkara yang Allah dan RasulNya belum menetapkan ketentuannya,
maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini
didukung oleh ayat dalam Surat Al Maidah QS 5:101 yang menyatakan bahwa hal-hal
yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah (Wikepedia).
Dengan demikian perkara yang dihadapi
umat Islam dalam menjalani hidup beribadahnya kepada Allah itu dapat
disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang
termasuk dalam kategori Asas Syara' dan perkara yang masuk dalam kategori Furu'
Syara'.
Asas
Syara' yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau
Al Hadits. Kedudukannya sebagai Pokok Syari'at Islam di mana Al Quran itu Asas
Pertama Syara' dan Al Hadits itu Asas Kedua Syara'.
Furu'
Syara' yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam
Al'quran dan Al Hadist. Kedudukannya sebagai cabang Syariat Islam. Sifatnya
pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil
Amri setempat menerima sebagai peraturan / perundangan yang berlaku dalam
wilayah kekuasaanya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. SUMBER HUKUM ISLAM
1. Al-Qur'an
Al-Qur'an sebagai kitab
suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman (Saba ' QS 34:28). Sebagai sumber Ajaran Islam juga disebut
sumber pertama atau Asas Pertama Syara'.
Al-Quran merupakan kitab
suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci lainnya yang pernah
diturunkan ke dunia
Dalam upaya memahami isi
Al Quran dari waktu ke waktu telah berkembang tafsiran tentang isi-isi
Al-Qur'an namun tidak ada yang saling bertentangan.
2. Al Hadist
Hadis (Bahasa Arab: الحدي,
transliterasi: Haidits), adalah perkataan dan perbuatan dari Nabi Muhammad.
Hadis sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada
tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur'an.
a.
Tingkatan dan Jenis Hadis :
1.
Hadits Shohih (Sah/benar/sehat)
2.
Hadits Hasan (Bagus/Baik)
3.
Hadits Dho’if (Lemah) dll.
b.
Struktur Hadis
Secara struktur hadis terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad
(rantai penutur) dan matan (redaksi).
Contoh : Musaddad mengabari bahwa
Yahyaa sebagaimana diberitakan oleh Syu'bah, dari Qatadah dari Anas dari
Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: "Tidak sempurna iman seseorang di
antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk
dirinya sendiri" (Hadis riwayat Bukhari)
1)
Sanad
Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadis. Sanad terdiri atas
seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadis tersebut dalam bukunya
(kitab hadis) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian
suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadis
bersangkutan adalah Al-Bukhari >
Musaddad > Yahya > Syu’bah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad SAW.
Jadi yang perlu dicermati dalam memahami Hadis terkait dengan sanadnya
ialah :
Ø
Keutuhan
sanadnya
Ø
Jumlahnya
Ø
Perawi
akhirnya
2)
Matan
Matan ialah redaksi dari hadis. Dari contoh sebelumnya maka matan hadis
bersangkutan ialah:
"Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta
untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri"
Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami
hadis ialah:
Ujung sanad sebagai sumber
redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan,
Matan hadis itu sendiri dalam hubungannya dengan hadis
lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan
selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).
3. Ijtihad
Ijtihad adalah sebuah
usaha untuk menetapkan hukum Islam berdasarkan Al'qur'an dan Hadist. Ijtihad
dilakukan setelah Nabi Muhammad telah wafat sehingga tidak bisa langsung
menanyakan pada beliau tentang suatu hukum namun hal-hal ibadah tidak bisa
diijtihadkan (Wekepedia).
Meski Al Quran sudah
diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan
manusia diatur secara detail oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain
itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern.
Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan
aturan-aturan turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama
sehari-hari (Wikepedia).
Beberapa macam ijtihad antara lain:
Ijma',
kesepakatan para-para ulama.
Qiyas,
diumpamakan dengan suatu hal yang mirip dan sudah jelas hukumnya
Maslahah Mursalah, untuk kemaslahatan
umat
'Urf, kebiasaan
B. RUANG LINGKUP SYARIAT ISLAM
Dengan definisi syariat
Islam baik secara etimologis maupun terminologis syar‘î di atas, tampak jelas
bahwa ruang lingkup syariat Islam adalah seluruh ajaran Islam, baik yang
berkaitan dengan akidah maupun peraturan atau sistem kehidupan yang menjadi
turunannya.
Akidah Islam adalah
keimanan kepada Allah dan para malaikat-Nya; pada kitab-kitab-Nya; kepada para
rasul-Nya; serta pada Hari Akhir dan takdir, yang baik dan buruknya berasal
dari Allah SWT semata. Akidah Islam juga meliputi keimanan pada adanya surga,
neraka, dan setan serta seluruh perkara yang berkaitan dengan semua itu.
Demikian juga dengan hal-hal gaib dan apa saja yang tidak bisa dijangkau oleh indera
yang berkaitan dengannya.
Akidah Islam merupakan
pemikiran yang sangat mendasar (fikr asâsi). Ia mampu memecahkan secara sahih
problem mendasar manusia di seputar: dari mana manusia berasal; untuk apa
manusia ada; dan mau ke mana manusia setelah mati. Artinya, akidah Islam
merupakan pemikiran yang menyeluruh (fikrah kulliyyah) yang menjadi sumber dari
seluruh pemikiran cabang. Ia adalah pemikiran mendasar yang membahas persoalan
di seputar:
a.
alam semesta, manusia, dan kehidupan;
b.
eksistensi
Pencipta dan Hari Akhir;
c.
Hubungan
alam, manusia, dan kehidupan dengan Pencipta dan Hari Akhir.
Dalam konteks manusia,
hubungan yang dimaksud adalah hubungan dirinya sebagai hamba dengan Allah yang
harus tunduk pada syariat-Nya. Sebab, syariat Allah merupakan standar
akuntalibitas bagi seluruh aktivitas manusia di hadapan-Nya.
Sementara itu, peraturan
atau sistem kehidupan Islam merupakan kumpulan ketentuan yang mengatur seluruh
urusan manusia; baik yang berkaitan dengan ubudiah, akhlak, makanan, pakaian,
muamalat, maupun persanksian. Tentu saja, untuk bisa disebut sistem Islam, ia
harus digali dari dalil-dalil tafshîli (rinci); baik yang bersumber dari
al-Quran, Hadis Nabi, Ijma Sahabat, maupun Qiyas.
Al-Quran,
misalnya, dengan tegas menyatakan:
﴿وَنَزَّلْنَا
عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ﴾
Kami telah menurunkan al-Kitab (al-Quran) ini kepadamu
(Muhammad) untuk menjelaskan segala sesuatu. (QS an-Nahl [16]: 89).
Hadis Nabi juga telah menjelaskan hal yang sama:
»قَالَ تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ «
Aku telah
meninggalkan dua perkara yang menyebabkan kalian tidak akan sesat selamanya
selama kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah
Nabi-Nya. (HR at-Turmudzî, Abû Dâwud, Ahmad).
C. TUJUAN SYARIAT ISLAM
Diturunkannya Syariat
Islam kepada manusia tentu memiliki “tujuan” yang sangat mulia. Paling tidak,
ada “delapan” tujuan. Pertama, memelihara atau melindungi agama dan sekaligus
memberikan hak kepada setiap orang untuk memilih antara beriman atau tidak,
karena, “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam” (QS. Al Baqaarah, 2:256).
Manusia diberi kebebasan mutlak untuk memilih, “…Maka barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia
kafir” (QS. Al Kahfi, 18:29).
Pada hakikatnya, Islam
sangat menghormati dan menghargai hak setiap manusia, bahkan kepada kita
sebagai mu’min tidak dibenarkan memaksa orang-orang kafir untuk masuk Islam.
Berdakwah untuk menyampaikan kebenaran-Nya adalah kewajiban. Namun demikian
jika memaksa maka akan terkesan seolah-olah kita butuh dengan keislaman mereka,
padahal bagaimana mungkin kita butuh keislaman orang lain, sedangkan Allah SWT
saja tidak butuh dengan keislaman seseorang. Tetapi bila seseorang dengan
kesadarannya sendiri akhirnya masuk Islam, maka wajib dipaksa oleh Ulul Amri
untuk melaksanakan Syariat Islam.
Dengan memilih muslim,
maka tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak melaksanakan kewajibannya.
Seandainya ada seorang muslim tidak shalat, hal ini “bukan hanya” urusan
pribadi tapi menjadi urusan semua muslim terutama Ulul Amri. Jika ada seorang
muslim tidak melaksanakan kewajiban shalat karena dia tidak yakin akan
kewajiban shalat, maka Empat Mahzab dan jumhur (mayoritas) ulama sepakat
menyatakan yang bersangkutan kafir. Yang karenanya harus dihukumkan kafir,
artinya bila dalam tiga hari dia tidak segera sadar, maka dihukumkan sebagai
murtad yang halal darahnya sehingga Ulul Amri bisa menjatuhkan hukuman mati.
Tapi, seandainya tidak shalatnya yang bersangkutan bukan karena tidak yakin,
tapi karena alasan malas misalnya, maka dalam hal ini “tiga” mazhab (Syafi’i,
Hanafi, Maliki) menyatakan yang bersangkutan berdosa besar, sementra Mazhab
Hambali tetap mengkafirkannya.
Pertama, Ulul Amri tentu saja berkewajiban
mengingatkannya. Andaikata yang bersangkutan tetap tidak mau shalat padahal
sudah diingatkan oleh Ulul Amri, menurut Mahzab Syafei dan Maliki, yang
bersangkutan wajib dihukum mati. Imam Hanafi, sependapat dengan Mahzab Syafei
dan Maliki, bahwasanya yang bersangkutan tidak bisa dihukumkan kafir, karena
memang alasannya malas bukan mengingkari hukum Allah. Tetapi Imam
Hanafi tidak sependapat dengan hukuman mati, karena selama tidak kafir berarti
haram darahnya. Pandangan beliau, Ulul Amri harus memberikan hukuman kepada
yang bersangkutan dengan dipenjara sampai yang bersangkutan sadar dan mau
shalat. Sedangkan Mahzab Hambali, berpendapat dan berkeyakinan, bahwa seorang
yang mengaku muslim lalu tidak shalat apa pun alasannya apakah karena tidak
yakin atau malas, maka yang bersangkutan harus dihukumkan kafir. Beliau
berpegang teguh kepada hadits Rasulullah Saw yang menyatakan, “Perbedaan antara
muslim dan kafir adalah meninggalkan shalat”.
Yang
kedua, “melindungi jiwa”. Syariat Islam sangat melindungi
keselamatan jiwa seseorang dengan menetapkan sanksi hukum yang sangat berat,
contohnya hukum “qishash”. Di dalam Islam dikenal ada “tiga” macam pembunuhan,
yakni pembunuhan yang “disengaja”, pembunuhan yang “tidak disengaja”, dan
pembunuhan “seperti disengaja”. Hal ini tentunya dilihat dari sisi kasusnya,
masing-masing tuntutan hukumnya berbeda. Jika terbukti suatu pembunuhan
tergolong yang “disengaja”, maka pihak keluarga yang terbunuh berhak
menuntut kepada hakim untuk ditetapkan hukum qishash/mati atau membayar “Diyat”
(denda). Dan, hakim tidak punya pilihan lain kecuali menetapkan apa yang
dituntut oleh pihak keluarga yang terbunuh. Berbeda dengan kasus pembunuhan
yang “tidak disengaja” atau yang “seperti disengaja”, di mana Hakim harus
mendahulukan tuntutan hukum membayar “Diyat” (denda) sebelum qishash.
Yang ketiga, “perlindungan
terhadap keturunan”. Islam sangat melindungi keturunan di antaranya dengan
menetapkan hukum “Dera” seratus kali bagi pezina ghoiru muhshon (perjaka atau
gadis) dan rajam (lempar batu) bagi pezina muhshon (suami/istri, duda/jand) (Al
Hadits). Firman Allah SWT : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,
maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah
belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika
kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman
mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman” (An Nuur,
24:2). Ditetapkannya hukuman yang berat bagi pezina tidak lain untuk melindungi
keturunan. Bayangkan bila dalam 1 tahun saja semua manusia dibebaskan berzina
dengan siapa saja termasuk dengan orangtua, saudara kandung dan seterusnya,
betapa akan semrawutnya kehidupan ini.
Yang
keempat, “melindungi akal”. Permasalahan perlindungan akal ini
sangat menjadi perhatian Islam. Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah Saw
menyatakan, “Agama adalah akal, siapa yang tiada berakal (menggunakan akal),
maka tiadalah agama baginya”. Oleh karenanya, seseorang harus bisa dengan benar
mempergunakan akalnya. Seseorang yang tidak bisa atau belum bisa menggunakan
akalnya atau bahkan tidak berakal, maka yang bersangkutan bebas dari segala
macam kewajiban-kewajiban dalam Islam. Misalnya dalam kondisi lupa, sedang
tidur atau dalam kondisi terpaksa. Kesimpulannya, bahwa hukum Allah hanya
berlaku bagi bagi orang yang berakal atau yang bisa menggunakan akalnya.
Untuk memelihara dan menjaga agar akal tetap berfungsi, maka Islam
mengharamkan segala macam bentuk konsumsi baik makanan, minuman atau apa pun
yang dihisap misalnya, yang dapat merusak atau mengganggu fungsi akal. Yang
diharamkan oleh Islam adalah khamar. Yang disebut khamar bukanlah hanya sebatas
minuman air anggur yang dibasikan seperti di zaman dahulu, tapi yang dimaksud
khamar adalah, “setiap segala sesuatu yang membawa akibat memabukkan” (Al
Hadits).
Yang
kelima, “melindungi harta”. Yakni dengan membuat aturan yang
jelas untuk bisa menjadi hak setiap orang agar terlindungi hartanya di antaranya
dengan menetapkan hukum potong tangan bagi pencuri. “Laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Qs. Al Maa-idah, 5:38). Juga peringatan keras
sekaligus ancaman dari Allah SWT bagi mereka yang memakan harta milik orang
lain dengan zalim, “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka
akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka Jahannam) (QS. An Nisaa,
4:10).
Yang
keenam, “melindungi kehormatan seseorang”. Termasuk melindungi
nama baik seseorang dan lain sebagainya, sehingga setiap orang berhak
dilindungi kehormatannya di mata orang lain dari upaya pihak-pihak lain
melemparkan fitnah, misalnya. Kecuali kalau mereka sendiri melakukan kejahatan.
Karena itu betapa luar biasa Islam menetapkan hukuman yang keras dalam bentuk
cambuk atau “Dera” delapan puluh kali bagi seorang yang tidak mampu membuktikan
kebenaran tuduhan zinanya kepada orang lain. Allah SWT berfirman: “Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
dengan delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka
untuk selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”(QS. An Nuur,
24:4). Juga dalam firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka
kena laknat di dunia dan akhirat. Dan bagi mereka azab yang besar” (QS. An
Nuur,24:23). Dan larangan keras pula untuk kita berprasangka buruk,
mencari-cari kesalahan dan menggunjing terhadap sesama mu’min (QS. Al Hujurat,
49:12).
Yang ketujuh, “melindungi rasa aman seseorang”. Dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang harus aman dari rasa lapar dan takut. Sehingga seorang pemimpin dalam Islam harus bisa menciptakan lingkungan yang kondusif agar masyarakat yang di bawah kepemimpinannya itu “tidak mengalami kelaparan dan ketakutan”. Allah SWT berfirman: “Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan” (QS. Al Quraisy, 106:4).
Yang kedelapan, “melindugi kehidupan bermasyarakat dan bernegara”. Islam menetapkan hukuman yang keras bagi mereka yang mencoba melakukan “kudeta” terhadap pemerintahan yang sah yang dipilih oleh ummat Islam “dengan cara yang Islami”. Bagi mereka yang tergolong Bughot ini, dihukum mati, disalib atau dipotong secara bersilang supaya keamanan negara terjamin (QS. Al Maa-idah, 5:33). Juga peringatan keras dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, Nabi Saw menyatakan, “Apabila datang seorang yang mengkudeta khalifah yang sah maka penggallah lehernya”.
Yang ketujuh, “melindungi rasa aman seseorang”. Dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang harus aman dari rasa lapar dan takut. Sehingga seorang pemimpin dalam Islam harus bisa menciptakan lingkungan yang kondusif agar masyarakat yang di bawah kepemimpinannya itu “tidak mengalami kelaparan dan ketakutan”. Allah SWT berfirman: “Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan” (QS. Al Quraisy, 106:4).
Yang kedelapan, “melindugi kehidupan bermasyarakat dan bernegara”. Islam menetapkan hukuman yang keras bagi mereka yang mencoba melakukan “kudeta” terhadap pemerintahan yang sah yang dipilih oleh ummat Islam “dengan cara yang Islami”. Bagi mereka yang tergolong Bughot ini, dihukum mati, disalib atau dipotong secara bersilang supaya keamanan negara terjamin (QS. Al Maa-idah, 5:33). Juga peringatan keras dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, Nabi Saw menyatakan, “Apabila datang seorang yang mengkudeta khalifah yang sah maka penggallah lehernya”.
D. PENGAMALAN SYARIAT ISLAM
Pengamalan Syari’at Islam
terdiri dari lima
macam, yaitu fardlu, haram, mandub, makruh, dan mubah. Hukum syariat
Islam bisa berbentuk tuntutan untuk melakukan sesuatu atau tuntutan untuk
meninggalkannya. Jika seruan itu berbentuk tuntutan untuk melakukan sesuatu,
maka seruan itu dibagi kedalam dua macam, yaitu:
1.
Pertama, yang berkaitan dengan tuntutan yang harus
dikerjakan, yang dinamakan fardlu atau wajib. Tidak ada perbedaan antara dua
istilah tersebut.
2.
Kedua, yang berkaitan dengan tuntutan yang tidak harus
dikerjakan, yaitu apa yang dinamakan mandub.
Jika hukum syara’ berkaitan dengan tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan,
maka seruan itu juga dibagi dua macam.
1.
Pertama, yang berkaitan dengan tuntutan yang harus
ditinggalkan, yang dinamakan haram atau mahdlur. Tidak ada perbedaan antara
kedua istilah tersebut.
2.
Kedua, jika berkaitan dengan tuntutan yang tidak
mengharuskan meninggalkannya. Inilah yang dinamakan makruh.
Karena itu, fardlu atau wajib adalah seluruh perbuatan yang mendapatkan pujian
bagi pelakunya, dan celaan bagi yang meninggalkannya. Atau, bagi orang yang
meninggalkannya akan memperoleh sanksi/siksaan. Sedangkan haram adalah
perbuatan yang mendapatkan celaan bagi pelakunya, dan pujian bagi yang meninggalkannya.
Dengan kata lain, orang yang melakukannya akan memperoleh sanksi/siksaan. Adapun
mandub adalah pujian bagi pelakunya, tetapi tidak mendapatkan celaan bagi yang
meninggalkannya.
Al-Qur’an
Al-Hadist
http://id.wikipedia.org/wiki/Syariat_Islam
http://soni69.tripod.com/Islam/syariah.htm
http://filsafat.kompasiana.com/2010/01/04/macam-macam-hadist/
Muhammad Ibnu Soim. 2011. Pemahaman Syariat Islam. Metro-Lampung http://www.scribd.com/doc/52572411/Bab-I-Pola-Pemahaman-Penghayatan-Dan-Pengamalan-Syariat-Islam
No comments:
Post a Comment